Sabtu, 07 Oktober 2017

The Island, Sea and Tree

Setelah sekian lama draft tulisan ini tertinggal waktu, akhirnya cerita SUIJI in Japan berlanjut kembali. Dalam kisah ini berlatar waktu hari ke-4 saya menginjakkan kaki di Negeri Sakura ini, penasaran bagaimana kisahku hari ini. Langsung saja, selamat membaca...


Hari yang cerah dimusim panas, meskipun yang kurasakan hanyalah hawa terik matahari pagi yang menyambut dihari itu. Seperti biasanya sekelompok dari kami mulai mengambil baris antrian, tak tahu mengapa hari ini ingin rasanya ku ingin melahap berbagai macam menu pada hari ini. Tetapi, nyatanya masih juga tersedia sup miso yang sebagain teman-temanku berkomentar akan rasa yang membuat pikiran melayang (jangan terlalu dipikirkan) untuk menu yang satu itu biarkan kulewatkan saja. Seperti kesepakatan semalam sebelum mengakhiri pertemuan, kami telah dibagi dalam beberapa tim yang bertujuan untuk membersihkan penginapan sebelum kami meninggalkan Rainbow highland yang memberikan cerita khas pertemuan itu.

Site yang dimana dijadwalkan akan berangkat pukul 10.00 pagi itu, begitu terasa amat cepat waktu berlalu, semua barang-barang kami cek ulang satu persatu dikarenakan kami tidak akan kembali lagi ketempat ini, begitulah perkataan sensei sembari mengecek barang-barangnya sendiri. Waktu menunjukkan 15 menit sebelum pukul 10, sesuai yang dijadwalkan bus yang akan kami tumpangi telah tiba pada parkiran depan penginapan yang jaraknya lumayan jauh untuk mengangkat koper yang berkapasitas puluhan kilo, untung saja koper yang kubawa saat itu hanya berbobot tak lebih sepuluh kilogram, sebahagian temanku beranggapan barang yang kubawa hanya baju dan celana. Tapi, nyatanya hanya barang-barang yang kuanggap penting saja yang bawa ke negeri ini agar tidak menyusahakan saja membawanya.

Bus yang aku tumpangi merupakan gelombang ke-3 pada hari itu menuju suatu desa yang bernama Komobuchi 薦渕, dari beberapa diskusi yang telah kami lakukan sebelumnya bersama anggota dari site ini, telah banyak informasi mengenai lokasi yang akan kami habiskan sekitar 10 hari pada lingkungan pesisir laut dan gunung pada satu area pandangan mata, sungguh menakjubkan!. Salah satu mahasiswa Jepang mengatakan perjalanan akan memakan waktu sekitar tiga jam, kemungkinan kami akan sampai pada lokasi sekitar pukul 1 atau 2 siang. Entah mengapa diriku biasa mengalami ketidaksadaran saat melakukan perjalanan jauh, mungkin sudah kebisaan, sedikit saja hal membuatku bosan mataku akan mulai terasa berat dan tak sadarkan diri meskipun beberapa suara masih samar-samar ditelingaku.

Perjalanan kami terhenti pada siang itu, teman Jepang mengatakan kita akan bertemu sensei di daerah sekitar pusat perbelanjaan di kota Uwajima. Kami berbondong-bondong memasuki pusat perbelanjaan tersebut, bangunan yang kulihat tak terlalu besar itu dapat menampung banyak barang-barang keperluan sehari-hari dengan tertata rapi di dalamnya. Bukan hanya itu, terdapat restoran di dalam gedung ini. Teknik pemesanan menggunakan mesin yang dimana uang dimasukkan kedalam kotak merah penuh dengan gambar bermacam-macam menu yang tersedia, hanya menekan tombol, seketika suatu kupon muncul beserta dengan kembalian jika nilai uang kita masukkan lebih besar dari harga menu.

Layaknya beberapa restoran di jepang masih belum terdapat tanda untuk membedakan makanan yang sebagian dari kami (mahasiswa Indonesia muslim) bisa mengonsumsi panganan tersebut. Untunglah ada teman-teman jepang kami saat itu yang dengan sabar menunggu/ memberi saran/ menunjukkan panganan yang dapat kami makan siang terik hari itu. Menu soba そば atau jenis mie yang menjadi pilihan saat itu, dari beberapa pilihan yang tertolak. Beberapa saat menunggu pesananku juga akhirnya datang, begitu terkejutnya diriku melihat apa yang pelayan sediakan, hanya sekotak mie basah dengan mangkuk kecil berisi saus asin. Tidak begitu mengecewakan juga, mau bagaimana lagi pesanan mie yaah tetaplah mie, jika sudah lapar melanda apa pun itu akan tetap kumakan, dengan syarat yaah halal.

Sembari menunggu makanan tercerna dengan baik, kumelihat handphone-ku menangkap jaringan internet. Tak mengherankan karena pada tempat tertentu jaringan internet tersedia untuk umum, langsung saja aku mulai untuk membuka sosial media untuk melihat adakah informasi yang terjadi di kampung halamanku di sana. Dan akhirnya ku mulai untuk mencoba video call dengan teman kuliahku, sempat beberapa menit kami bercakap dengan menampilkan kondisi yang kualami sekarang ini dan kondisi yang terjadi disana.

Mungkin ini merupakan hal yang biasa di Negara ini, pada beberapa tempat pelanggan sendiri yang membersihkan tempat makan mereka dan mengangkat piring kotor kesudut tempat pembersih piring yang telah tersedia ditempat makan tersebut. Hal ini menunjukkan dimanapun kita harus tetap menjaga kebersihan dan sifat bertanggungjawab terhadap apa yang kita lakukan. Sensei berpesan kepada kami untuk mencari barang-barang yang kami perlukan saat di site nanti, mulailah kami berkeliling di tempat perbelanjaan itu, hal yang membuatku kembali terkejut terdapat akuarium silinder besar, sekitar 4 meter tingginya, berisi ikan yang masih hidup berenang kesana-kemari, dan beberapa ikan yang masih segar dijual disamping akuarium tersebut.

Waktu menunjukkan pukul 12.05 saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Saat kesadaranku kembali, terlihat hamparan lautan biru yang luas, tetapi masih tertutupi oleh rimbunnya pepohonan. Akhirnya kami sampai juga ditempat tersebut, dari jauh desa ini tampak begitu kecil. Barang-barang yang kami bawa, diturunkan oleh supir bus yang tampak sangat gesit dan disiplin. Seorang warga mulai menyapa kami dan dengan baik hati mengangkut barang-barang kami, sayangnya mobil yang ia bawa hanya cukup untuk mengangkut barang, kamipun bersama-sama berjalan kaki menuju tempat peristirahatan. Sepanjang jalan birunya lautan dan hijaunya perbukitan menemani langkah kami, tak lupa teriknya matahari yang menyilaukan mata. Tampak dari jauh kapal-kapal kecil bersandar tidak jauh dari dermaga, dan tersusun rapi keramba jaring apung nelayan, menurut perkiraanku nelayan disini sedang membudidayakan ikan menggunakan keramba tersebut.

Setelah berjalan tidak kurang 10 menit, sampailah kami pada sebuah gedung. Gedung tersebut dinamakan kominkan yang merupakan tempat untuk berkumpulnya warga untuk melakukan suatu diskusi atau pesta, dan tempat ini juga merupakan kantor administrasi bagi warga didaerah ini, kalau di kampungku namanya seperti kantor kelurahanlah. Setelah barang kami simpan di tempat penginapan kami dipanggil kembali ke kominkan untuk bertemu dengan salah satu orang yang mengurusi daerah ini. Panggil saja Seike-san yang adalah orang yang mengantar barang-barang kami tadi, Seike-san mulai menceritakan tentang kondisi Komobuchi dan sejarah yang terlah terjadi didaerah ini. Dimana dulunya Komobuchi adalah pelabuhan terkenal yang sering bersandarnya kapal-kapal yang membawa hasil tangkapan ikan dan kemudian akan didistribusikan kesuluruh daerah di Jepang. Tidak mengherankan jika saat ini jejak-jejak sejarah masih terlihat dengan masih beroperasinya kapal-kapal pencari ikan meskipun jumlah unitnya dapat dihitung jari.

Setelah istirahat beberapa saat, setelah membersihkan kominkan, sensei mengatakan akan diadakan pertemuan dengan masyarakat yang tinggal disekitar daerah ini. Muncullah perasaan yang sedikit canggung dapat bertemu langsung dengan masyarakat lokal di daerah ini. Bahasa apa yang akan kugunakan, bahasa jepangpun belum kukuasai, yaah mungkin dengan bahasa tubuhlah yang dapat menyatukan kami, harapku begitu. Tak lama datanglah beberapa orang, panggillah mereka dengan Oba-cang, membawa cawan besar penuh berisi dengan makanan yang kemudian kami menata makanan tersebut pada ruangan yang kami sebut Tatami’s room. Ruangan yang cukup luas lengkap dengan perlengkapan pesta dan beralaskan tatami, alas khas jepang yang terbuat dari anyaman jerami. Rupanya suatu kebiasaan adat di Jepang untuk menjamu orang baru yang datang mengunjungi tempat mereka, kamipun menyebutnya dengan Welcome party.

Dalam perjamuan tersebut, kami berusaha menyampaikan beberapa hal tentang diri kami, miriplah dengan memperkenalkan diri. Meskipun masih terbata-bata, tetap kusampaikan diriku dengan bahasa keseharian mereka. Banyak dari kami mencoba untuk berbaur, dan tidak ketinggalan akupun mencoba berbaur meskipun perlu ditemani oleh teman Jepang untuk mengartikan apa yang warga sampaikan. Perjamuan itu berlangsung cukup lama, lama kami bercerita mengenai latar belakang kami (khususnya orang Indonesia), pada saat warga mulai beranjak kembali pulang, tetapi sensei dan beberapa orang yang cukup terbuka untuk orang baru, melanjutkan acara makan-makan tersebut menjadi ronde ke-2.

Pada pukul 09.00 waktu setempat. Setelah acara tersebut selesai, kamipun tak langsung berisitirahat di penginapan, akan tetapi harus membersihkan tempat makan, dan mencuci perabotan yang telah terpakai saat perjamuan tadi. Pukul 11 lebih barulah kami bisa kembali kepenginapan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga setelah perjalanan jauh dan beberapa saat yang melelahkan. Mulai besok adalah hari baru yang akan kami jalani selama kurang lebih 10 hari desa ini. Desa yang bernama komobuchi, permata diantara luasnya lautan dan rindangnya pepohonan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar