Sabtu, 28 Oktober 2017

Desa Diantara Pinus dan Kabut

Sekitar seminggu yang lalu, merupakan suatu pengalaman yang mungkin tak terlupakan sebab hal itu mengajarakanku tentang betapa lingkungan mempengaruhi kehidupan manusia. Ini bukan cerita tentang seberapa tertinggalnya daerah tersebut, tetapi tentang bagaimana dalam keterbatasan mereka tetap menjalani kehidupan mereka dengan tetap tersenyum.


Sebenarnya rencana untuk mengecek lokasi kegiatan yang akan mendatang ini telah tersampaikan jauh hari sebelumnya. Akan tetapi, disaat waktu itu datang diriku merasa kelelahan malamnya dan tertidur lelap hingga pagi menjelang. Rencana yang telah kami jadwalkan berangkat sekitar pukul 8 pagi, akan tetapi diriku yang tak dapat terbangun pada waktu tersebut membuatku membuang waktu mereka yang telah mempersiapkan diri untuk berangkat ke lokasi tersebut.

Sungguh ku sangat merasa bersalah karena telah lalai tak dapat menepati waktu yang telah ditentukan. Hal ini merupakan suatu pelajaran yang seharusnya manusia perhatikan untuk tidak melalaikan suatu rencana yang telah disusun dan disepakati bersama. Dan akhirnya dengan ketetapan hati kunyalakan mesin motorku dan mulai perjalan untuk mengejar mereka yang telah memulai perjalanan sebelumku. 

Dalam perjalanan yang kutempuh terasa penyesalan yang masih terbanyang, dengan menjaga titik fokus pada kecepatan untuk dengan segera menyusul mereka. Meskipun tujuan kami belum terpampang jelas dalam peta pikiranku, mereka dengan baiknya menuntunku menuju jalan yang telah mereka lalui. Dan akhirnya kami bertemu pada perbatasan kabupaten Soppeng dengan kabupaten Barru. Disana kami mengambil jalan menuju perbatasan kabupaten Barru dengan kabupaten Bone yang dimana jalan yang kami lewati merupakan jalan pegunungan.

Perlu perjuangan yang lebih untuk mencapai daerah tersebut, daerah yang berada tersembunyi di kaki gunung diselimuti dengan kabut putih nan menyejukkan. Jalan menanjak dan menurun yang menguras tenaga mesin motor. Suatu tragedi yang menimpa salah satu dari tim cek lokasi kami saat menuruni jalan campuran cor semen dengan tanah liat bekas longsor dari beberapa hari yang lalu. Mungkin karena kemampuan dari salah satu kakak teman yang membawa motor yang masih belum terbiasa atau jalanan yang mencoba untuk memberikan kenangan untuk mereka yang masih baru memasuki wilayah tersebut.

Tak terbayangkan betapa kami berusaha dengan gigih untuk mencapai wilayah tersebut. Berat perjalanan kami untuk memasuki wilayah tersebut, hingga kami mencapai rumah pak kepala desa yang ternyata masih kelihatan muda saat menjabat menjadi kepala desa daerah tersebut. Lama kami bercerita mengenai wilayah tersebut yang dimana suatu desa yang jauh dari kota dan memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam dengan melewati jalan mendaki dan menurun yang membuat lelah sekujur badan, meskipun bagi warga daerah sana hanya membutuhkan sekitar 1 jam untuk menuju desa, hal itu dikarenakan mereka telah terbiasa dan beradaptasi dengan jalanan tersebut.

Tak lama kami mencoba untuk melihat-lihat desa tersebut, suatu pemandangan yang indah dikelilingi bukit pinus dengan sentuhan kabut yang menyejukkan nafas. Beberapa aktivitas yang terlihat di lapangan yang luas di samping rumah pak desa, beberapa pemuda sedang bermain sepak bola dan terlihat beberapa penduduk desa yang berusaha menanjak dengan motornya, tak lama terdapat mobil yang mengangkut beberapa orang yang kelihatan sedang dari pesta perkawinan menuruni jalan sekitar lapangan tersebut.

Senja yang tak menampakkan diri hingga malam menjemput, kemungkinan sapaan senja yang terhalang oleh tegaknya pinus yang mengelilingi desa tersebut. Malam hari telah datang tak banyak suara yang terdengar hanya musik pesta yang jelas terdengar dari atas sana. Kamipun dipanggil untuk datang menghadiri pesta tersebut untuk makan malam, masih jelas terasa adat dan istiadat yang masih mereka jaga hingga hari ini. Seperti yang telah diceritakan oleh pak desa bahwa masih kental terasa beberapa petua nenek moyang dahulu yang masih mereka jaga hingga sekarang.

Hal yang menggelikan terjadi disaat acara pesta perkawinan tersebut, salah satu pemusik menyanyikan sebuah lagu yang mengundak decak tawa dikarenakan suara dan lagu yang dinyanyikan begitu menggelitik. Sehabis dari acara tersebut, kami kembali ke rumah pak desa untuk istirahat malam itu. Tak banyak cahaya malam itu untuk menerangi desa tersebut hanya beberapa dari lampu yang bersumber dari energi matahari yang menerangi beberapa rumah. Suasana yang begitu tenang, tetapi suara penyanyi diatas sana turut menemani malam itu.

Pagi yang menjelang membuat kami terbangun karena kedinginan, tak cukup hangat selimut untuk menghangatkan jiwa yang terlelap, hingga dingin yang menusuk memaksa mereka untuk bangkit dan bergerak demi menghangatkan tubuh. Pagi ini kabut turut menyelimuti daerah sekitar desa tersebut. Dan agenda pagi ini adalah berkeliling desa untuk mengecek beberapa hal yang akan kami jadikan referensi untuk mengadakan kegiatan di daerah ini.

Pagi ini kami mencoba untuk mengecek beberapa sekolah yang terdapat pada desa ini. Desa ini terbagi menjadi 3 dusun yang dimana tak jauh untuk mencapai setiap dusunnya. Pertama kami menyambangi sekolah satu atap (SD dan SMP) yang terdekat dengan rumah pak desa. Sekolah yang masih dalam tahap pembaharuan kelas dan tidak terlalu luas menurutku, menurut informasi terdapat sekitar 130-an siswa disekolah ini yang tergabung 2 dusun disekitarnya. Kemudian kami mencoba untuk kesalah satu sekolah yang berjarak lumayan jauh sekitar 2 Km dari sekolah satunya. Sekolah yang satu ini memiliki jumlah siswa sekitar 80-an murid, tetapi bangunan sekolah yang luas dibanding dengan sekolah yang pertama kami sambangi.

Setelah menyantap makan siang, kamipun bersiap-siap untuk pulang. Banyak cerita yang dapat tergambarkan betapa kehidupan manusia itu tak menuntut harus memiliki lingkungan yang mendukung untuk menunjang kehidupan mereka. Kami kembali harus melewati jalan yang menanjak dan menurun bukit yang terjal untuk kembali pulang. Sempat kami berhenti dibukit yang cukup tinggi untuk mengambil beberapa kenangan foto. Tak terasa begitu cepat kami sampai di perbatasan awal sebelum memasuki wilayah pedesaan.

Suatu pengalaman pada hari itu, kembali membuka mata dan hati bahwa dunia ini hanya sementara. Untuk apa membuat suatu kastil mewah yang akhirnya akan ditinggalkan juga. Dan buat apa mengeluhkan kehidupan sulit yang akhirnya akan berakhir juga. Tujuan hidup bukan untuk mencapai suatu kepuasan, akan tetapi mensyukuri hal-hal yang kita dapatkan di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar