Setelah sekian lama draft tulisan ini tertinggal waktu, akhirnya cerita SUIJI in Japan berlanjut kembali. Dalam kisah ini berlatar waktu hari ke-4 saya menginjakkan kaki di Negeri Sakura ini, penasaran bagaimana kisahku hari ini. Langsung saja, selamat membaca...
Hari yang cerah dimusim panas, meskipun yang kurasakan hanyalah hawa
terik matahari pagi yang menyambut dihari itu. Seperti biasanya sekelompok dari
kami mulai mengambil baris antrian, tak tahu mengapa hari ini ingin rasanya
ku ingin melahap berbagai macam menu pada hari ini. Tetapi, nyatanya masih juga
tersedia sup miso yang sebagain teman-temanku berkomentar akan rasa yang
membuat pikiran melayang (jangan terlalu dipikirkan) untuk menu yang satu itu
biarkan kulewatkan saja. Seperti kesepakatan semalam sebelum mengakhiri
pertemuan, kami telah dibagi dalam beberapa tim yang bertujuan untuk
membersihkan penginapan sebelum kami meninggalkan Rainbow highland yang
memberikan cerita khas pertemuan itu.
Site yang dimana dijadwalkan akan berangkat pukul 10.00 pagi itu, begitu
terasa amat cepat waktu berlalu, semua barang-barang kami cek ulang satu
persatu dikarenakan kami tidak akan kembali lagi ketempat ini, begitulah
perkataan sensei sembari mengecek barang-barangnya sendiri. Waktu menunjukkan
15 menit sebelum pukul 10, sesuai yang dijadwalkan bus yang akan kami tumpangi
telah tiba pada parkiran depan penginapan yang jaraknya lumayan jauh untuk
mengangkat koper yang berkapasitas puluhan kilo, untung saja koper yang kubawa saat
itu hanya berbobot tak lebih sepuluh kilogram, sebahagian temanku beranggapan
barang yang kubawa hanya baju dan celana. Tapi, nyatanya hanya barang-barang
yang kuanggap penting saja yang bawa ke negeri ini agar tidak menyusahakan saja
membawanya.
Bus yang aku tumpangi merupakan gelombang ke-3 pada hari itu menuju
suatu desa yang bernama Komobuchi 薦渕, dari beberapa
diskusi yang telah kami lakukan sebelumnya bersama anggota dari site ini, telah
banyak informasi mengenai lokasi yang akan kami habiskan sekitar 10 hari pada
lingkungan pesisir laut dan gunung pada satu area pandangan mata, sungguh
menakjubkan!. Salah satu mahasiswa Jepang mengatakan perjalanan akan memakan
waktu sekitar tiga jam, kemungkinan kami akan sampai pada lokasi sekitar pukul
1 atau 2 siang. Entah mengapa diriku biasa mengalami ketidaksadaran saat
melakukan perjalanan jauh, mungkin sudah kebisaan, sedikit saja hal membuatku
bosan mataku akan mulai terasa berat dan tak sadarkan diri meskipun beberapa
suara masih samar-samar ditelingaku.
Perjalanan kami terhenti pada siang itu,
teman Jepang mengatakan kita akan bertemu sensei di daerah sekitar pusat
perbelanjaan di kota Uwajima. Kami berbondong-bondong memasuki pusat
perbelanjaan tersebut, bangunan yang kulihat tak terlalu besar itu dapat menampung
banyak barang-barang keperluan sehari-hari dengan tertata rapi di dalamnya.
Bukan hanya itu, terdapat restoran di dalam gedung ini. Teknik pemesanan
menggunakan mesin yang dimana uang dimasukkan kedalam kotak merah penuh dengan
gambar bermacam-macam menu yang tersedia, hanya menekan tombol, seketika suatu
kupon muncul beserta dengan kembalian jika nilai uang kita masukkan lebih besar
dari harga menu.
Layaknya beberapa restoran di jepang masih
belum terdapat tanda untuk membedakan makanan yang sebagian dari kami
(mahasiswa Indonesia muslim) bisa mengonsumsi panganan tersebut. Untunglah ada
teman-teman jepang kami saat itu yang dengan sabar menunggu/ memberi saran/
menunjukkan panganan yang dapat kami makan siang terik hari itu. Menu soba そば
atau jenis mie yang menjadi pilihan saat itu, dari beberapa pilihan yang
tertolak. Beberapa saat menunggu pesananku juga akhirnya datang, begitu
terkejutnya diriku melihat apa yang pelayan sediakan, hanya sekotak mie basah
dengan mangkuk kecil berisi saus asin. Tidak begitu mengecewakan juga, mau
bagaimana lagi pesanan mie yaah tetaplah mie, jika sudah lapar melanda apa pun
itu akan tetap kumakan, dengan syarat yaah halal.
Sembari menunggu makanan tercerna dengan baik, kumelihat handphone-ku menangkap
jaringan internet. Tak mengherankan karena pada tempat tertentu jaringan
internet tersedia untuk umum, langsung saja aku mulai untuk membuka sosial
media untuk melihat adakah informasi yang terjadi di kampung halamanku di sana. Dan
akhirnya ku mulai untuk mencoba video call dengan teman kuliahku, sempat
beberapa menit kami bercakap dengan menampilkan kondisi yang kualami sekarang
ini dan kondisi yang terjadi disana.
Mungkin ini merupakan hal yang biasa di
Negara ini, pada beberapa tempat pelanggan sendiri yang membersihkan tempat
makan mereka dan mengangkat piring kotor kesudut tempat pembersih piring yang
telah tersedia ditempat makan tersebut. Hal ini menunjukkan dimanapun kita
harus tetap menjaga kebersihan dan sifat bertanggungjawab terhadap apa yang
kita lakukan. Sensei berpesan kepada kami untuk mencari barang-barang yang kami
perlukan saat di site nanti, mulailah kami berkeliling di tempat perbelanjaan
itu, hal yang membuatku kembali terkejut terdapat akuarium silinder besar,
sekitar 4 meter tingginya, berisi ikan yang masih hidup berenang kesana-kemari,
dan beberapa ikan yang masih segar dijual disamping akuarium tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 12.05 saatnya
untuk melanjutkan perjalanan. Saat kesadaranku kembali, terlihat hamparan
lautan biru yang luas, tetapi masih tertutupi oleh rimbunnya pepohonan.
Akhirnya kami sampai juga ditempat tersebut, dari jauh desa ini tampak begitu
kecil. Barang-barang yang kami bawa, diturunkan oleh supir bus yang tampak
sangat gesit dan disiplin. Seorang warga mulai menyapa kami dan dengan baik
hati mengangkut barang-barang kami, sayangnya mobil yang ia bawa hanya cukup
untuk mengangkut barang, kamipun bersama-sama berjalan kaki menuju tempat
peristirahatan. Sepanjang jalan birunya lautan dan hijaunya perbukitan menemani
langkah kami, tak lupa teriknya matahari yang menyilaukan mata. Tampak dari
jauh kapal-kapal kecil bersandar tidak jauh dari dermaga, dan tersusun rapi
keramba jaring apung nelayan, menurut perkiraanku nelayan disini sedang
membudidayakan ikan menggunakan keramba tersebut.
Setelah berjalan tidak kurang 10 menit,
sampailah kami pada sebuah gedung. Gedung tersebut dinamakan kominkan yang merupakan
tempat untuk berkumpulnya warga untuk melakukan suatu diskusi atau pesta, dan
tempat ini juga merupakan kantor administrasi bagi warga didaerah ini, kalau di
kampungku namanya seperti kantor kelurahanlah. Setelah barang kami simpan di
tempat penginapan kami dipanggil kembali ke kominkan untuk bertemu dengan salah
satu orang yang mengurusi daerah ini. Panggil saja Seike-san yang adalah orang
yang mengantar barang-barang kami tadi, Seike-san mulai menceritakan tentang
kondisi Komobuchi dan sejarah yang terlah terjadi didaerah ini. Dimana dulunya
Komobuchi adalah pelabuhan terkenal yang sering bersandarnya kapal-kapal yang
membawa hasil tangkapan ikan dan kemudian akan didistribusikan kesuluruh daerah
di Jepang. Tidak mengherankan jika saat ini jejak-jejak sejarah masih terlihat
dengan masih beroperasinya kapal-kapal pencari ikan meskipun jumlah unitnya
dapat dihitung jari.
Setelah istirahat beberapa saat, setelah
membersihkan kominkan, sensei mengatakan akan diadakan pertemuan dengan
masyarakat yang tinggal disekitar daerah ini. Muncullah perasaan yang sedikit
canggung dapat bertemu langsung dengan masyarakat lokal di daerah ini. Bahasa
apa yang akan kugunakan, bahasa jepangpun belum kukuasai, yaah mungkin dengan
bahasa tubuhlah yang dapat menyatukan kami, harapku begitu. Tak lama datanglah
beberapa orang, panggillah mereka dengan Oba-cang, membawa cawan besar penuh
berisi dengan makanan yang kemudian kami menata makanan tersebut pada ruangan
yang kami sebut Tatami’s room. Ruangan yang cukup luas lengkap dengan
perlengkapan pesta dan beralaskan tatami, alas khas jepang yang terbuat dari
anyaman jerami. Rupanya suatu kebiasaan adat di Jepang untuk menjamu orang baru
yang datang mengunjungi tempat mereka, kamipun menyebutnya dengan Welcome party.
Dalam perjamuan tersebut, kami berusaha
menyampaikan beberapa hal tentang diri kami, miriplah dengan memperkenalkan
diri. Meskipun masih terbata-bata, tetap kusampaikan diriku dengan bahasa
keseharian mereka. Banyak dari kami mencoba untuk berbaur, dan tidak
ketinggalan akupun mencoba berbaur meskipun perlu ditemani oleh teman Jepang
untuk mengartikan apa yang warga sampaikan. Perjamuan itu berlangsung cukup
lama, lama kami bercerita mengenai latar belakang kami (khususnya orang
Indonesia), pada saat warga mulai beranjak kembali pulang, tetapi sensei dan
beberapa orang yang cukup terbuka untuk orang baru, melanjutkan acara
makan-makan tersebut menjadi ronde ke-2.
Pada pukul 09.00 waktu setempat. Setelah
acara tersebut selesai, kamipun tak langsung berisitirahat di penginapan, akan
tetapi harus membersihkan tempat makan, dan mencuci perabotan yang telah
terpakai saat perjamuan tadi. Pukul 11 lebih barulah kami bisa kembali
kepenginapan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga setelah perjalanan jauh dan
beberapa saat yang melelahkan. Mulai besok adalah hari baru yang akan kami
jalani selama kurang lebih 10 hari desa ini. Desa yang bernama komobuchi,
permata diantara luasnya lautan dan rindangnya pepohonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar